Sambungan.... Alhamdulillah, dengan tekad dan
nekad, yang Kami pahami waktu itu barulah Al jauf, lantas dengan semangat khairukum man ta’alamal qur’an wa’allamah,
“sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari alquran dan mengajarkannya”. Tentu
saja, kami tak akan pernah lupa, kepada “pelanggan” pertama kami, pak Pribadi
Kadivre Telkom Yogya, yang mendisposisi kepada BRI—Bina Ruhani Islam TELKOM
Jogja Bapak Qodri, untuk program funtahsin di masjid Telkom. Kombes KH. Imam
Subarno—Kepala Binrohtal, yang memberi kami kesempatan untuk berfuntahsin di
hadapan 400-an Personel POLDA DIY setiap hari Rabu pagi menjelang Mujahadah
pasca apel pagi di Masjid POLDA DIY. Ustadz Dudu Ridwanulhaq, Bina Ruhani Islam
RSIY PDHI, yang memberi kami kesempatan ber-funtahsin dihadapan perawat &
karyawan RSIY PDHI. Pimpinan dan Jama’ah masjid al – Iman yang setia mendengar
dan menanti kami mengajar meski belum jelas format pengajarannya. Kang Kurun,
pimred Republika Jogja yang telah memberi kesempatan “manggung” di pra
pengajian muhasabah tahun baru.
Nah, tentang
nama funtahsin, kami usulkan untuk menjadi nama panggung dari metode ‘asyarah.
Karena “lidah jawa” kami susah mengucap huruf arab—dulu belum takut kalau salah
makhraj & shifatnya. Alhamdulillah perubahan istilah ini direstui oleh
ustadz Yudi Imana—beliau tetap keukeuh dengan Funtahsin metode ‘asyarah, di
Jogja kami hanya kenalkan sebagai funtahsin. Funtahsin juga dipopulerkan Ust.
Yudi Imana menjadi nama panggung di acara ngaji PJTV (Padjadjaran Televisi)
Bandung.
Selama hampir
setahun, kami hanya mengajar Al Jauf, setelah sekira 6 bulan, kadang-kadang
kami mengajar Al Khaisyum. Saking semangatnya, dalam setahun, atas berkat
rahmat dan pertolongan Allah, kami berhasil mengenalkan funtahsin ke berbagai
lembaga maupun majelis. Bahkan sejak bulan pertama berdiri, kami dengan sangat
heroik, meng-hire ustadz-ustadzah melalui media massa dan jejaring. Alhasil,
terekrutlah para “assabiqunal awwalun” dari pengumuman media massa & Forum
Halaqah Quran serta Ponpes Takwinul Mubalighin. Mereka adalah Hj. Esti Rahayu,
Ust. Endri Sulistyo, Usth Asniyah Nailasari, Usth. Aufa, Usth. Mayansari, Usth.
Ayu Sri Wahyuni, Usth. Rismawati, Ust. Miftahul Huda, Ust. Sukiyanto.
Kepada mereka,
kami, khususnya Ustadz Akhid bertugas men-transfer metode ‘asyarah. Sedang saya
lebih banyak memikirkan bagaimana supaya bisa segera mengajar. Menyusun narasi support
sistemnya, mulai dari kantor, keuangan, bahkan menjadi penjamin atas beberapa
pinjaman dana, untuk modal awal pendirian organisasi baru ini. Dengan segala
keterbatasan, karena memang terbatas ilmu kami tentang metode ini, dan terbatas
pula resource yang kami bisa berdayakan. Berjalanlah baitulquran dengan
sempoyongan. Ibarat Bayi, Baitulquran sering menangis karena kurang makanan dan
susu, makanannya adalah santri yang penyantun, susu adalah lembaga/donatur yang
baik hati. Sedih sekali ketika harus menyampaikan besok materinya harus maju,
padahal belum dapat transferan ilmu lagi dari ustadz Yudi. Perih juga tatkala
awal bulan, honor mesti dibayarkan kepada assatidz, tetapi tak bersisa karena
harus menutup hutang acara kemaren lalu.
bersambung lagi...