Benarkah Al Qur’an adalah Tanda?
Oleh: Asniyah Nailsary, S.Pdi. M.Pdi
Sebuah pertanyaan yang mendasar namun sebetulnya ambigu. Benarkah
Al Qur’an adalah tanda?. Pertanyaan ini sebenarnya muncul dilatarbelakangi
karena banyaknya pesan singkat yang beredar di sms maupun situs-situs jejaring
sosial yang mengaitkan fenomena bencana alam dengan penomoran surat dan ayat
dalam Al Qur’an. Contoh yang paling terakhir adalah bencana yang melanda warga
Kediri dan sekitarnya yaitu meletusnya gunung kelud pada Kamis malam
(13/02/2014) pukul 22.49 WIB. Waktu tersebut kemudian dijadikan patokan tanda dan
dihubungkan dengan penomoran surat ke-22 dan ayat ke-49 dalam Al Qur’an.
Jika dilihat dalam Al-Qur’an, penomoran tersebut merujuk pada QS.
Al-Hajj ayat 49, yang berbunyi sebagai berikut,
Katakanlah: "Hai manusia, Sesungguhnya Aku adalah seorang
pemberi peringatan yang nyata kepada kamu".
Upaya mengaitkan kejadian dengan penomoran ayat dan surat ini juga
sudah sering dilakukan sebelumnya, seperti pada gempa di Tasikmalaya yang waktunya
dihubungkan dengan surat ke-15 (QS. Al-Hijr) ayat 4, kemudian gempa di Sumatera
Barat pada pukul 17.16 yang dikaitkan dengan surat ke-17 (Al Isro’) ayat 16.
Ironisnya, ayat-ayat tersebut berkisar maknanya tentang “pembinasaan suatu
negeri”. (Lih. QS. Al Isro’ : 16)
Penafsiran Al Qur’an dengan model seperti di atas bagi beberapa
orang dikatakan sebagai upaya mengaitkan “tanda” dan peringatan yang sudah
diberikan oleh Allah di dalam Al Qur’an dengan fenomena alam yang terjadi. Al
Qur’an mengandung tanda-tanda bagi orang-orang yang mau berfikir, termasuk
dalam memaknai fenomena alam yang terjadi. Satu sisi anggapan bahwa Al Qur’an
mengandung banyak tanda-tanda kekuasaan Allah yang diperlihatkan melalui
kejadian alam (dalam makna lain sebagai
petunjuk bagi manusia), memang benar. Namun, cara seperti ini sebenarnya
kurang pas. Hal ini didasari oleh beberapa pertimbangan.
Pertama, jika
Al Qur’an ditafsirkan setelah ada kejadian, maka sama saja kita mencari
“pembenaran” terhadap Al Qur’an atas apa
yang kita inginkan. Membawa kepentingan sendiri dengan menyandarkan Al Qur’an
tentu bukanlah suatu tindakan yang bijak, dalam term Jawa kita kenal dengan
istilah “utak atik gatuk” atau dalam arti yang lain memaksa mencocokkan dua hal
dan ternyata cocok.
Kedua, dalam
contoh peristiwa meletusnya gunung Kelud pada 22.49 memang jika dikaitkan
dengan Al Qur’an sebagaimana ayat di atas, maka tidaklah begitu ekstrim karena
ayat itu “hanya” berisi tentang “penegasan Allah sebagai pemberi peringatan”,
namun ketika kita menilik peristiwa gempa di Sumbar dengan kekuatan 7,9 SR,
kejadiannya disebutkan sekitar pukul 17.16. Gempa susulannya terjadi pada pukul
17.58. Keesokan harinya, 1 Oktober, gempa berkekuatan 7 Skala Richter kembali
menggoyang Jambi dan sekitarnya sekitar pukul 08.52. Jika waktu-waktu ini
dikaitkan dengan penomoran dalam Al Qur’an (Lih. QS Al Isro’:16 dan 58, serta
QS Al Anfal: 52) maka kandungan ini (tentang azab, penduduk yang durhaka, dan
pembinasaan sebuah negeri) “terlalu” ekstrim diarahkan pada korban-korban gempa
di wilayah tersebut. Hal ini seolah-olah memberikan sebuah kesimpulan bahwa
para korban tersebut adalah penduduk-penduduk yang durhaka.
Fakta ini, menurut Ketua Komisi Fatwa MUI Sumbar, H Gusrizal Gazahar Lc,
tak bisa dikaitkan semudah itu saja. Sebab, musibah-musibah yang dialami boleh
jadi merupakan ujian bagi keimanan dan kesabaran seseorang karena ini merupakan
keniscayaan dalam hidup (QS Al-Ankabut: 2-3), dan boleh jadi juga bencana
sebagai cara yang ditempuh Allah guna pengampunan dosa (QS Al Imran 140-141).
Ketiga, menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an
tentunya bukan perkara yang mudah, harus orang yang memiliki penguasaan
terhadap Bahasa Arab, cerdas, dan memahami ilmu Al Qur’an. Khalifah Umar bin
Khattab yang notabene penutur bahasa saat itu, beberapa kali bertanya tentang
beberapa terma yang ada di Al Qur’an, bahkan beliau sangat marah terhadap
beberapa orang yang berani menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an tertentu (tanpa
keilmuan yang cukup), dan menghukum mereka. Sehingga, cara penafsiran yang digunakan
dengan hanya mengaitkan waktu kejadian alam dengan penomoran surat adalah jelas
tidak mematuhi aturan penafsiran yang sesungguhnya.
Berdasarkan uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa Al Qur’an tidak
hanya sebagai “tanda” yang bisa kita maknai dengan sederhana, namun Al Qur’an
adalah “petunjuk”. Untuk itu, dalam memaknai teks Al Qur’an, tidak seyogyanya
jika kita hanya mengambil satu sisi saja, karena kajian terhadap Al Qur’an
memerlukan kajian yang mendalam (holistic-integrated) dan meliputi
banyak aspek. Berkaitan dengan peristiwa alam yang terjadi, semestinya kita
ambil garis tengahnya bahwa bencana yang terjadi semsestinya dijadikan
pelajaran bagi manusia bahwa peristiwa alam tersebut boleh jadi disebabkan oleh
tangan manusia sendiri atau paling tidak hukum-hukum alam (sunnatullah) yang
telah ditetapkan-Nya. Adapun Al Qur’an menjadi sumber dasar ketentuan Allah
yang memuat hukum alam itu sendiri. Wallahu a’lam bisshowab.
Sumber:
Al Qur’anul
Karim
M. Quraish
Shihab, Lentera Al Qur’an, Bandung: Mizan. 2008.
M. Quraish
Shihab, Membumikan Al Qur’an. Bandung: Mizan. Cet. 3. 2009.
Dra. Hj. Yayan
Rahtikawati, M. Ag. & Dadan Rusmana, M. Ag., Metodologi Tafsir Qur’an. Bandung:
Pustaka Setia. 2013.